Kekhawatiran perangkat komunikasi dari luar negeri, disusupi penyadap telah menjadi kekhawatiran banyak negara. Terakhir India menghentikan sementara produk telekomunikasi China dengan alasan keamanan negaranya. Lalu bagaimana Indonesia yang teknologi telekomunikasinya sangat tergantung dari luar negeri?
Pakar Keamanan Internet dan Telekomunikasi ITB, Agung Harsoyo mengatakan masalah keamanan seperti itu di dunia telekomunikasi dikenal sebagai back-door, yang merupakan link khusus dengan perangkat yang tidak diketahui.
Sebelumnya peristiwa seperti itu popular dalam komunikasi satelit. Penyadapan tracking pembicaraan internasional itu kemudian berkembang ke link radio dan menjalar ke perangkat seluler.
Aktivitas semacam back-door merupakan hal illegal. Namun ada yang legal disebut embed teknologi, bisa dilakukan atas permintaan pihak tertentu berdasarkan Undang-undang. Misalnya saja oleh pemerintah yang disebut dengan Lawfull Intercept (LI).
“Jadi memang ada kemungkinan terjadi terhadap perangkat telekomunikasi suatu negara termasuk Indonesia,” kata Agung saat dihubungi dari Jakarta, kemarin. Ia menjelaskan ada tes khusus untuk mengecek fungsionalitas perangkat telekomunikasi produksi dari negara lain.
Namun yang menjadi persoalan adalah ada teknologi yang bisa dikendalikan dari luar sistem, dan ketika dideteksi menjadi tidak terlihat. Hal itu berbahaya di mana Indonesia belum memiliki teknologi secanggih India atau China, apalagi Amerika.
“Perangkat telekomunikasi berat hingga yang ringan bisa saja disusupi teknologi back-door. Bahkan pejabat negara setingkat presiden bisa saja disadap back-door dengan kendali dari produsen perangkat tersebut,” paparnya.
Ia menjelaskan sebuah ponsel bisa dicek fungsionalitasnya oleh pemerintah berdasarkan tombol dan fitur yang ada. Namun jaringan yang digunakan bisa saja diparalel ketika digunakan, sehingga membahayakan informasi yang tengah berlangsung.
Sementara pada pemancar terdapat back-door pooling. Perangkat ini menyimpan data dalam memori untuk jangka waktu tertentu, dan bisa diambil pada saat yang tepat.
“Pelat back-door bisa ditempelkan dalam skala besar di acces point atau ringan di handset klien. Hal itu sangat berbahaya dan tidak hanya bisa mencuri informasi rahasia negara, tapi juga untuk kepentingan bisnis tertentu dan banyak tujuan lainnya,” ujar Agung.
Ia mengungkapkan pada 2000 Prancis pernah kecolongan. Ketika itu informasi pemerintah dan bisnis bisa bocor sehingga berbagai tender selalu dimenangkan AS. Akibatnya Prancis lebih waspada, dan melarang beberapa data disalurkan melalui internet atau kanal yang umum digunakan publik.
Kepala Humas Kemenkominfo Gatot S Dewa Broto mengatakan pemerintah belum menerima laporan menyangkut perangkat dari produsen telekomunikasi asal China. Namun pihaknya siap mengantisipasi jika memang ada kekhawatiran.
“Pada pertemuan satelit dunia di Belarusia (negara pecahan Uni Soviet) dipaparkan bagaimana sebuah teknologi digunakan untuk kepentingan tertentu. Pemerintah Amerika Serikat ada di sana dan memang terbiasa melakukan back-door satelit. Sulit jika Indonesia ingin menandingi kekuatan tersebut karena memang teknologinya belum mencukupi,” papar Gatot.
Ia menjelaskan antisipasi yang dilakukan adalah koordinasi dan kerjasama dengan kementerian lainnya. Tujuannya agar lebih siap menghadapi permasalahan tersebut. Sementara regulasi tidak terlalu dibutuhkan dalam hal ini.
Menurut Gatot yang sangat diperlukan adalah kemampuan penguasaan teknologi agar bisa benar-benar mengetahui apakah ada celah keamanan pada perangkat telekomunikasi atau tidak. “Standar keamanan perangkat telekomunikasi di Indonesia akan diperketat,” tegasnya.
“Sebenarnya ada tujuan baik dari RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) Intersepsi namun sebagian masyarakat sudah memandang curiga, khawatir dengan kewenangan tertentu padahal fungsinya bisa untuk mengantisipasi bahaya back-door,” ujar Gatot.
Agung Harsoyo mengatakan Indonesia dari sisi regulasi sebenarnya sudah mengadopsi sesuai dengan standar internasional. Standar itu termasuk dalam impor dan penggunaan perangkat asing sekaligus tes kelayakan agar compliance.
Tetapi permasalahan keamanan di Indonesia adalah belum memiliki awareness setinggi India, karena volume bisnis ICT Indonesia belum setara dengan India atau China.
“Saran saya, jangan terlalu mudah menukarkan data atau informasi penting melalui internet dan kanal publik. Apalagi pemerintah sudah seharusnya memiliki kecanggihan perangkat baik hardware dan software teknologi dan kanal spektrum tersendiri sehingga sulit dijebol,” ujar Agung.